HMI LAHIR BUKAN UNTUK MELAYANI PARA PENJILAT KEKUASAAN

Revitalisasi Sebuah Refleksi Dalam Rangka Memperingati Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-76

Tulisan sangat ringkas dan sederhana ini bertujuan untuk membangun ingatan kolektif dan merangsang seluruh organ tubuh HMI sehingga mereka sadar sepenuhnya betapa HMI yang begitu besar (atau lebih tepatnya, yang pernah besar) tidak atau kurang memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya secara benar, baik dan efektif. Dengan menampakkan kembali potensi dan kecenderungan yang ada pada HMI, meskipun ia dihimpit oleh dua kenyataan yang signifikan, kemajuan sekaligus kemundurannya, diharapkan itu dapat didudukkan sebagai refleksi awal dalam ya kolektif dan merangsang seluruh organ tubuh HMI sehingga mereka sadar sepenuhnya betapa HMI yang begitu besar (atau lebih tepatnya, yang pernah besar) tidak atau kurang memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya secara benar, baik dan efektif. Dengan menampakkan kembali potensi dan kecenderungan yang ada pada HMI, meskipun ia dihimpit oleh dua kenyataan yang signifikan, kemajuan sekaligus kemundurannya, diharapkan itu dapat didudukkan sebagai refleksi awal dalam menentukan langkah HMI ke depan. Sehingga kehendak bersama untuk menata kembali HMI, tidak lagi berangkat dari niat yang keliru, ruang yang kosong, dan garis start yang tidak jelas.

The will to improve, atau kehendak untuk memperbaiki, tidak bisa tidak, mutlak diawali dengan “pengakuan dosa” atas berbagai kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, kecerobohan-kecerobohan, bahkan telah terjadi pengkhianatan-pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang menjadi dasar bangunan organisasi, yang selama ini, baik disadari maupun tidak, dikerjakan secara massif dan berjamaah. Lebih parahnya, semua itu dianggap sebagai hal yang wajar di dalam berorganisasi, terutama pada wilayah tertentu yang cukup sensitif, yaitu politik.

Selanjutnya, perlu juga besama-sama direnungkan mengenai apa sesungguhnya HMI itu; mengapa HMI ada, untuk apa HMI ada dan untuk siapa HMI ada. Ketiga pertanyaan tersebut semoga dapat mewakili pandangan terhadap HMI minimal melalui tiga sudut pandang, yaitu teologis, filosofis dan sosiologis. Memang untuk menilai bagaimana HMI kini dan yang akan datang, analisa kita harus dimulai dengan mendudukkan HMI dengan segala variabelnya, di tengah-tengah kita bersama.

Kita harus duduk bersama dan menjadikan HMI sebagai “bahan kajian khusus” melalui ketiga pendekatan di atas. Ketiga pendekatan di atas tidak secara rinci dijelaskan melalui tulisan ini, mengingat ruang dan waktu yang relatif terbatas. Meskipun demikian, semoga pada kesempatan yang lain diskusi mengenai hal ini dapat diperluas sekaligus diperinci. Tulisan ini akan mengajak kembali kita semua untuk memeriksa ulang atau mengunjungi kembali (revitalisasi) kehadiran HMI di tengah umat Islam dan masyarakat Indonesia secara umum. Kongkritnya, tulisan ini bertujuan untuk menjadikan HMI benar-benar kembali relevan baik secara teoritis, politis dan praktis.

Sebagai salah seorang kader dan Alumni HMI yang tak terlalu populer – saya ingin memotret kembali dinamika dan romantika kehadiran organisasi Mahasiswa Islam dalam sejarah dan kiprahnya. Semoga Bermanfaat bagi adik-adikku sebagai generasi “pelurus bangsa” (Sengaja saya tulis PELURUS dan Bukan PENERUS).

Saya tak ingin adik-adik hanya meneruskan hal-hal yang tak pantas untuk diteruskan dalam perjuangan anak bangsa ini. Akan tetapi, saya berharap kader HMI harus dan wajib untuk “meluruskan” sejarah kelam bangsa ini. Secara teoritis berarti keberadaan HMI minimal mampu mengulang gerakan intelektual yang pernah diusung oleh Kanda Ahmad Wahib, Kanda Nurcholis Madjid dan kawan-kawannya. HMI dituntut untuk memberi kontribusi bagi perkembangan intelektual umat dan bangsa secara linier. Baik sebagai produsen pengetahuan maupun dalam kapasitas turut mewarnai perdebatan intelektual yang sedang berkembang.

Secara politis bukan berarti HMI secara riil terlibat dalam dinamika politik. Meskipun hal demikian juga tidak secara total harus ditinggalkan (dengan berbagai pertimbangan tertentu). Politis berarti keberadaan HMI dengan segala potensinya mampu melibatkan diri dalam berbagai dinamika kebijakan pemerintah (dari Pusat hingga Daerah). Sehingga dengan itu HMI tidak hanya diperhitungkan dalam setiap keterlibatannya pada dinamika kebijakan Negara, namun juga berada pada posisi signifikan dengan fungsi dan peran yang efektif.

Pada konteks ini, untuk contoh kasus nyatanya, adalah bagaimana HMI tidak saja diam ketika terdapat suatu kebijakan (beserta implementasinya) yang dinilai sama sekali tidak populis. “Kekuatan” HMI harus mampu mempengaruhi kebijakan tersebut sekaligus implementasinya di lapangan. Misalnya kasus mengenai kebijakan agraria dan program pembangunan ekonomi oleh Pemerintah yang dibingkai melalui MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Untuk kasus itu, saya melihat HMI belum menampakkan keterlibatannya dalam pengawalannya. Atau bahkan HMI sama sekali tidak memahaminya karena terlalu membuang waktu, pikiran dan tenaganya hanya untuk menciptakan letupan-letupan ke dalam (politik praktis, perebutan kekuasaan dan konflik internal yang berujung kepada perpecahan). Padahal kedua hal tersebut adalah persoalan pokok yang memiliki dampak sangat menentukan bagi masa depan kehidupan masyarakat Indonesia.

Secara praktik berarti ada tindakan nyata atau gerakan sosial yang terencana, sistematis dan memiliki dampak signifikan (gerakan sosial yang efektif). Praktik nyata sebagai wujud gerakan sosial HMI ini, saya lebih nyaman memberinya kosakata “keteladanan lapangan”. Keberhasilan HMI pada era sekitar Orde Baru sampai Reformasi, tidak lain adalah buah yang lahir dari proses panjang sejak 1947. Proses yang dikawal dengan komitmen terhadap kebenaran dan ketekunan serta tidak tergiur oleh berbagai godaan pragmatis.

Jika mulai hari ini kita tidak berusaha menanam kembali, menyirami dan memupuk HMI, dan hanya memetik apa yang ditanam, dipupuk dan disiram oleh para pendahulu, maka cepat atau lambat buah itu akan habis, diiringi dengan tanamannya yang kian tua dan layu kemudian kering. Di HMI, sesungguhnya tidak ada posisi nyaman, sebab keseluruhan proses dalam ber-HMI adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan dan penuh dengan sejumlah resiko.

MENGAPA HMI LAHIR : Keberadaan HMI adalah ketetapan Tuhan! Tetapi kemajuan dan kemunduran HMI merupakan tanggungjawab setiap manusia-manusia yang berhimpun di dalamnya. Melalui Almarhum Prof. Lafran Pane dan kawan-kawan, Tuhan memberikan wahyu sehingga HMI didirikan sebagai jawaban bagi kebutuhan umat dan bangsa pada saat itu. Dan ternyata, sampai hari ini pun HMI dibutuhkan. Tetapi perjalanan HMI selajutnya adalah amanah bagi setiap generasi penerus yang telah secara sadar dan rasional menjadi bagian dari HMI.

HMI ada, selain sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat pada saat ia didirikan, juga sebagai pengawal khusus bagi perjalanan umat dan bangsa ke depan. Keselamatan, kesejahteraan, bahkan kesengsaraan serta nestapa umat dan bangsa, HMI berada pada posisi sebagai salah satu entitas penentu. HMI merupakan anak kandung kebenaran, anak kandung dari kehendak untuk mimpi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. HMI ada bukan sebagai bagian yang merusak masa depan umat dan bangsa, HMI ada bukan sebagai gerombolan perampok dan pencuri yang baik secara munafik maupun terang-terangan merampas apapun yang bukan menjadi haknya. Tujuan didirikannya HMI, secara substansi adalah mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Itu kemudian menjadi visi HMI yang harus diperjuangkan.

Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, yang dilakukan oleh HMI, dalam setiap tarikan nafas pada perjalanan hidupnya, adalah perkaderan dan perjuangan. Untuk memenuhi dua hal tersebut, HMI harus mempersiapkan syarat-syarat pokoknya. Salah satu syarat pokok tersebut adalah adanya kader yang memiliki kualifikasi tingkat tinggi. Syarat pokok lainnya adalah institusi yang baik, bersih dan kuat, serta sistem yang dapat menjamin berjalannya organisasi secara baik, terarah, terukur dan bersifat mengikat (konstitusional).

Kualifikasi tersebut adalah akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terhadap upaya perwujudan tujuan HMI. Proses untuk membina kader sehingga memiliki kualifikasi-kualifikasi tersebut disebut sebagai perkaderan, dan itulah misi internal HMI. Misi internal tersebut sama sekali tidak boleh ditinggalkan, bagaimanapun keadaan yang menimpa HMI, dan juga Kohati.

UNTUK SIAPA HMI ITU ADA : HMI adalah pelindung bagi kaum yang lemah, sekaligus lawan bagi kaum penindas, apapun bentuknya, dan apapun resiko yang harus dihadapi. Sejak awal didirikan, HMI selalu berpihak dan membela kaum atau kelompok yang tertindas, terutama secara struktural. Jika pada Era Kemerdekaan HMI berpihak kepada bangsanya sendiri sebagai yang dijajah oleh kolonialisme dan imperialism Amerika, Belanda dan Negara Barat/Asia yang lain.

Maka pada hari ini, dengan wajah dan mekanisme penjajahan yang telah bertransformasi, HMI harus tetap berpihak dan membela mereka-mereka yang tertindas. Buruh yang dieksploitasi dan tereliminasi, petani yang dipisahkan dari sumber-sumber kehidupannya, perempuan-perempuan yang direndahkan derajat dan martabatnya, para TKI yang dinistakan dan dianiaya, rakyat yang dibohongi oleh partai politik dan para politisinya, nelayan yang dirusak lautnya, rakyat kecil yang dipaksa membayar mahal biaya pendidikan dan kesehatan, dan masih banyak lagi kelompok-kelompok tertindas lainnya, mereka semua adalah kelompok yang HMI seharusnya ada untuk mereka.

HMI bukan ada untuk kekuasaan yang sewenang-wenang dan korup, HMI bukan ada untuk membela orang-orang yang salah dan telah merugikan rakyat kecil, HMI bukan ada untuk mengabdi kepada Namrud-Namrud modern. HMI bukan ada untuk melayani para penjilat kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat dan gerakan sosial.Mengapa umat dan bangsa berani mengambil resiko (bertaruh) mempercayakan masa depan mereka kepada HMI? Karena mereka memahami betul bahwa HMI dilahirkan memang untuk itu, untuk mengabdi kepada masa depan umat dan bangsa yang lebih baik.

Yang secara ekstrim, kewajibannya lebih besar daripada haknya! Maka, itulah pentingnya mengapa kita harus selalu merefleksikan keberadaan HMI (revitalisasi HMI). Supaya HMI tidak lupa diri dan tetap sadar bahwa ia masih memiliki tugas besar yang belum tertunaikan. Maka dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu HMI harus senantiasa “belajar dan membaca” realitas. HMI tidak boleh berhenti menimba ilmu, tetap rendah hati, dan peka terhadap perkembangan-perkembangan pengetahuan serta perdebatan-perdebatan intelektual seputar agama dan sosial. Apa yang menjadi perasaan dan gagasan HMI tidak boleh berhenti hanya pada wilayah perasaan dan abstraksi ide semata. Ia harus keluar, membumi dan memberi dampak positif bagi kelangsungan kehidupan sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk gerakan sosial nyata di lapangan. Keteladanan HMI di lapangan itu minimal mengandung tiga hal dalam setiap aktifitasnya. Yaitu edukasi, empowering dan advokasi.

Islam adalah system nilai universal yang bagi HMI keberadaannya sangat prinsip. Bagi HMI, Islam didudukkan sebagai tiga hal; Islam sebaai sumber nilai, Islam sebagai sumber inspirasi dan Islam sebagai sumber motivasi. Oleh karena itu, khasanah Islam harus senantiasa digali dan kemudian diterapkan secara konsisten dan penuh komitmen. Sebagai sumber nilai, Islam menjadi dasar dari perjuangan HMI. Islam memberi ruh dan nafas bagi moralitas dan independensi perjuangan HMI. Bahwa perjuangan HMI tidak boleh berpihak kepada siapapun selain hanya kepada kebenaran. Membela orang-orang yang tertindas, menyebarkan pengetahuan agama, memproduksi pengetahuan dan mendeseminasikannya, semuanya adalah kebenaran HMI berjuang diantaranya melalui itu.

Salah satu kebutuhan bagi gerakan sosial adalah pengetahuan atau wawasan yang memadai mengenai realitas (gejala-gejala sosial, perubahan sosial, dan lain-lain). Sebagai insan akademis, HMI dituntut untuk berwawasan luas, memahami ilmu agama, berbagai teori sosial, ilmu-ilmu alam, politik, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Dengan bekal itu HMI diharapkan mampu secara dominan mewarnai kanvas peradaban intelektual nusantara. Gerakan intelektual HMI harus diterjemahkan sebagai gerakan pengetahuan. Gerakan pengetahuan HMI adalah gerakan untuk selalu menggali pengetahuan, mengangkatnya ke permukaan, mengolahnya, mengelolanya, mendeseminasikannya, mendialektikakannya, dan menerapkannya secara baik dan benar. HMI juga harus secara kritis mampu merespons perkembangan intelektual secara professional dan proporsional. Kelemahan pada wilayah intelektual akan berakibat kepada HMI yang gagap dan kaku terhadap perkembangan serta dinamika intelektual, yang pada akhirnya akan menjadikan HMI tertinggal jauh di belakang.

HMI harus lebih banyak belajar dari rakyat, bersama rakyat, dan bergerak bersama rakyat untuk kepentingan rakyat. Dalam hal ini, jika HMI telah mampu melebur dan menumbuh dengan rakyat, maka HMI diharapkan memberikan suplemen-suplemen sosial kepada rakyat. Memberikan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung (kecuali, hari ini lebih pintar rakyat petani dan buruh dari pada kader HMI) kepada rakyat melalui lembaga-lembaga yang didirikan oleh kepengurusan-kepengurusan HMI, memperkuat kekuatan sosial rakyat, serta mendampingi dan melakukan pembelaan saat rakyat berada pada posisi terancam dan tertindas.

Saya berpikir, mungkin itulah yang sesungguhnya difikirkan oleh Almarhum Prof. Lafran Pane dan kawan-kawan sehingga mereka mendirikan HMI. Jika benar demikian, maka Almarhum Prof. Lafran Pane telah benar-benar mendapatkan ilham. Dan benar bahwa HMI adalah “Ratu Adil” yang dinantikan oleh umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia itu sendiri sebagai bangsa. Akhir Kata, Artikel ini, selain bersifat subjektif, banyak “salah ketik”, juga sangat lemah dan memiliki banyak kekurangan.

Oleh karena itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya akan sangat berterimakasih jika terdapat dialog dan diskusi cerdas para alumni. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dikandung dalam tulisan ini, minimal inilah salah satu ikhtiar saya dalam turut membangun HMI. Sebagai penutup, saya tidak akan memberi kesimpulan. Saya hanya akan mengutip beberapa kalimat dari dua tokoh yang saya kira kontribusinya untuk Islam dan Indonesia tidak perlu diragukan lagi, Kanda H. Isa Anshari dan Kanda Nurcholis Madjid. “Hanya api yang yang bisa menyalakan kayu, hanya kayu yang menyala yang bisa menyalakan kayu-kayu yang lain. Hanya yang Haq yang bisa meyakinkan hati, hanya hati yang yakin yang bisa meyakinkan hati-hati yang lain”. Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal. Selamat Milad HMI Ke 76.

Oleh :
Assoc. Prof. Dr. T.M. Jamil, M. SI
Alumni HMI dan Akademisi, USK, Banda Aceh

(Kota Madani, 04 Februari 2023)

 

Uploader : Lman

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *